Menentukan Mahar?
Jika calon suami memberi mahar berupa baju, si wanita sudah menerima, tapi ortu meminta agar minimal dalam bentuk cincin emas, apakah boleh bagi wali untuk menolaknya?
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Mahar termasuk kewajiban suami yang harus diberikan kepada istrinya. Allah berfirman,
وَآتُواْ النَّسَاء صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً
“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (QS. an-Nisa: 4)
Al-Qurthubi mengatakan,
هذه الآية تدل على وجوب الصداق للمرأة وهو مجمع عليه ولا خلاف فيه
Ayat ini menunjukkan wajibnya memberi mahar bagi wanita, dan ini disepakati ulama, dan tidak ada perbedaan dalam hal ini. (Tafsir al-Qurthubi, 5/24).
Dan mahar adalah hak wanita. Karena itu, dia berhak untuk menggugurkan mahar atau menyerahkannya kepada suami atau memberikannya kepada siapapun yang dia inginkan.
Allah berfirman,
فَإِن طِبْنَ لَكُمْ عَن شَيْءٍ مِّنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَّرِيئًا
Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu dengan nyaman dan baik. (QS. an-Nisa: 4)
Hanya saja ulama berbeda pendapat, siapa yang paling berhak menentukan besarnya mahar? Wali ataukah pengantin wanita?
Pertama, yang paling berhak menentukan nilainya adalah wali pengantin wanita. Jika maharnya nilainya di bawah umumnnya nilai mahar yang ada di masyarakat (mahar mitsl).
Karena urusan mahar, urusan pengantin wanita, sehingga dia tidak boleh menentukan sendiri.
Dalam al-Mudawanah – kitab fiqh Malikiyah – dinyatakan,
فإن كانت بكرا فقالت: قد رضيت ، وقال الولي: لا أرضى – والفرض أقل من صداق مثلها -؟ قال: الرضا إلى الولي ، وليس إليها؛ لأن أمرها ليس يجوز في نفسها
Jika dia gadis, dan mengatakan, “Saya setuju.” Sementara wali mengatakan tidak setuju, dan mahar kurang dari nilai mahar mitsl, menurut Ibnul Qosim, persetujuan kembali kepada wali, bukan ke si pengantin. Karena urusan dirinya, tidak boleh dikembalikan ke pribadinya. (al-Mudawwanah, 2/153)
Namun jika mahar itu senilai mahar mitsl, maka persetujuan kembali kepada pihak wanita.
قال ابن القاسم: ولو كان الذي فرض الزوج لها هو صداق مثلها ، فقالت: قد رضيت وقال الولي: لا أرضى ، كان القول قولها ، ولم يكن للولي ههنا قول
Ibnul Qosim mengatakan, “Jika yang mahar yang disediakan suami untuk si istri adalah mahar mitsl, lalu istri menyatakan setuju. Sementara wali menyatakan tidak setuju, maka persetujuan yang dianggap adalah persetujuan istri. Dalam hal ini, wali tidak punya hak pendapat. (al-Mudawwanah, 2/153)
Kedua, yang paling berhak menentukan nilai mahar adalah pengantin wanita. Sementara wali sama sekali tidak berhak menggugatnya. Meskipun nilainya di bawah mahar mitsl.
Syahnun – ulama malikiyah – mengatakan,
وقد قيل: إنها إذا رضيت بأقل من صداق مثلها : أنه جائز؛ ألا ترى أن وليها لا يزوجها إلا برضاها؟ فإذا رضيت بصداق ، وإن كان أقل من صداق مثلها: فعلى الولي أن يزوجها
Ada yang berpendapat, jika pengantin setuju dengan mahar di bawah mahar mitsl, itu boleh. Tidakkah anda perhatikan bahwa wali tidak boleh menikahkan si wanita kecuali dengan kerelaan si wanita? Jika si wanita ridha dengan nilai mahar, meskipun kurang dari mahar mitsl, maka wali harus menikahkannya. (al-Mudawwanah, 2/153)
Keterangan lain disampaikan dalam al-Qawanin al-Fiqhiyah,
إذا رضيت المرأة بدون صداق مثلها ، لم يكن لأوليائها اعتراض عليها ؛ خلافا لأبي حنيفة
Jika si wanita rela dengan mahar yang lebih murah dengan mahar mitsl, maka walinya tidak berhak untuk menolaknya menikah. Berbeda dengan pendapat Abu Hanifah. (al-Qawanin al-Fiqhiyah, 1/136)
Pendapat ini yang lebih mendekati, insyaaAllah…
Allahu a’lam
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/27868-siapa-yang-paling-berhak-menentukan-mahar.html